BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemerintah kita sedang
gencar-gencarnya mengkam-penyekan pemberian ASI kepada bayi yang baru
lahir. Tidak tanggung-tangguang ibu Negara punturun tangan dalam hal ini.
Mengingat masih tingginya tingkat kematian juga masalah gizi buruk pada bayi
dinegara kita. Al-Qur’an sudah sejak empat belas abad yang lalu memerintahkan
agar para ibu menyusukan bayinya. Banyak ayat yang menyinggung tentang perintah
masalah persusuan ini. Dalam makalah ini selanjutnya akan membahas tentang,
pensyari’atan menyusui dalamal-Qur’an, perintah menyusui selam dua tahun,
menyusui kaitannya dengan perkembangan psikis anak, dan ASI adalah sumber
makanan yang terbaik untuk bayi.
Menyusui adalah Suatu Hal Yang Berat
Bagi IbuTetapi Mulia Di Sisi Allah Maka Wajib bagi Anak Bersyukur Kepada Orang
Tuanya, Hormat dan Berbakti. Al-Qur’an mengakui bahwa kehamilan,
melahirkan, persusuan dan pengasuhan anak hal yang sangat beratbagi ibu. Tetapi
juga dianggap luhur sehingga wajib bagianak-anak bersyukur, hormat dan berbakti
kepada orangtua.
- Rumusan Masalah
1. Pengertian ar-Radha’/Persusuan
2. Batasan Umur
3. Jumlah Susuan
4. Cara Menyusui
5. Hukum Bank ASI
- Tujuan Pembelajaran.
Tujuan kami membuat makalah ini
untuk mengetahui pengertian persusuan, sampai di manna batasan umur orang
yang di susui, jumlah susuan, bagaimana cara kita menyusui, dan bagaimana hokum
bank ASI itu sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ar-Radha’
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang
menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan
Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam
tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah
sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah
mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap
puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu
tersebut atau sejenisnya. (Ibnu Nujaim, al Bahru ar Raiq: 3/221, Ibnu
Arafah, Syarhu Hudud: 1/316, al Muthi’i, Takmilah al Majmu’: 19/309, al Bahuti,
Syarhu Muntaha al Iradat: 4/ 1424) [1]
B.
Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam
menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur
dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)
Hadist Aisyah ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَاالرَّضَاعَةُمِنْالْمَجَاعَةِ
“ Hanyasanya persusuan (yang
menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar”(HR Bukhari dan Muslim) [2]
C.
Jumlah Susuan
Madzhab Syafi’i dan Hanbali
mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali
susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau
berkata:
انَفِيمَاأُنْزِلَمِنْالْقُرْآنِعَشْرُرَضَعَاتٍمَعْلُومَاتٍيُحَرِّمْنَثُمَّنُسِخْنَبِخَمْسٍمَعْلُومَاتٍفَتُوُفِّيَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَوَهُنَّفِيمَايُقْرَأُمِنْالْقُرْآنِ
“Dahulu dalam Al Qur`an susuan
yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian
hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw
wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR
Muslim)
Kapan seorang bayi menyusui dan
dianggap sebagai satu susuan? Yaitu jika dia menyusui, setelah kenyang dia
melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu
atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali
menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu
lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja. (Sidiq Hassan Khan,
Raudhatu an Nadiyah, 2/174) [3]
D. Cara Menyusu
Para ulama berbeda pendapat tentang
tata cara menyusu yang bisa mengharamkan:
Mayoritas ulama mengatakan bahwa
yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga
membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari
perempuan langsung, ataupun dengan caraas su’uth (memasukkan susu ke
lubang hidungnya), atau dengan cara al wujur (menuangkannya langsung ke
tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.
Adapun Madzhab Dhahiriyah mengatakan
bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap
puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap
susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari
kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt:
“(Diharamkan atas kamu mengawini)
Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’: 23) [4]
E. Hukum
Bank ASI
Perbedaan pandangan ulama terhadap
beberapa masalah penyusuan di atas, mengakibatkan mereka berbeda pendapat di
dalam menyikapi munculnya Bank ASI:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Salah
satu alasannya: Bayi tidak bisa menjadi mahram bagi ibu yang disimpan asinya di
bank ASI. Karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung.
Sedangkan dalam kasus ini, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua menyatakan hukumnya haram. Menimbang dampak buruknya
menyebabkan tercampurnya nasab. Dan mengikuti pendapat jumhur yang tidak
membedakan antara menyusu langsung atau lewat alat. Majma’ al Fiqh al Islami
(OKI) dalam Muktamar yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal1-6 Rabi’u at
Tsani 1406 H memutuskan bahwa pendirian Bank ASI di negara-negara Islam tidak
dibolehkan, dan seorang bayi muslim tidak boleh mengambil ASI darinya.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah
memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang
dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi
nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang
mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik
ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang
dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari. [5]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Pada awalnya, dalam wawancara
tersebut, penulis berpendapat bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya boleh dengan
syarat-syarat yang sangat ketat, sesuai pendapat beberapa ulama di Timur Tengah
yang terangkum dalam pendapat ketiga.
Namun, setelah memperhatikan
madharat-madharat yang akan muncul di kemudian hari, akhirnya penulis cenderung
untuk mengatakan: sebaiknya tidak usah didirikan Bank ASI selama hal tersebut
tidak darurat. Diantara madharat-madharat yang akan ditimbulkan dari pendirian
Bank ASI adalah:
Pertama,Terjadinya percampuran nasab, jika distribusi ASI tersebut
tidak diatur ini secara ketat. Kedua, Pendirian Bank ASI memerlukan
biaya yang sangat besar, terlalu berat ditanggung oleh negara-negara
berkembang, seperti Indonesia. Ketiga, ASI yang disimpan dalam Bank,
berpotensi untuk terkena virus dan bakteri. Kuaalitas ASI juga bisa menurun
drastis, jika dibandingkan dengan ASI yang langsung dihisap bayi dari ibunya.
Keempat, kekhawatiran munculnya fenomena mengkomersilkan ASI dengan harga
tinggi sebagai ganti susu formula. Kelima, Ibu-ibu wanita karir
yang super, akan semakin malas menyusui anak-anak mereka, karena bisa membeli
ASI dari Bank dengan harga berapapun. Wallahu A’lam. (Dr. Ahmad Zain An Najah,
MA)
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Jakarta: Toha Putra, 1992.
Huzaimah T Yanggo, Fiqih Anak:
Metode Islam dalam Mengsuh dan Mendidik Anak serta Hukum- Hukumyang Berkaitan
dengan Aktivitas Anak, Jakarta: al-Mawardi, 2004
Fiqih Perempuan Kontemporer,
Jakarta: al-Mawardi, 2001
Indita Indriana, Bayi Baru: Posisi
Tepat Menyusui, MajalahAyah Bunda, No.06 27 Mar-9 Apr 1999
Kartini Kartono, Psikologi Anak
(Psikologi Perkembangan), Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1995
Rulina Surad, Ibu & Laktasi:
Intoleransi Laktosa, MajalahAyah Bunda, 2000
[2]
Huzaimah T
Yanggo, Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengsuh dan Mendidik Anak serta Hukum-
Hukumyang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, Jakarta: al-Mawardi, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar